
Menurut cerita si calon santri yang bernama Muhammad Amin, ia berangkat dari Kempek, Cirebon, bersama lima orang temannya, menuju Bangkalan, Madura, untuk berguru kepada Kiai Kholil. Mereka tidak membawa bekal apa-apa kecuali beberapa lembar sarung, baju, dan celana untuk tidur, parang, serta thithikan, alat pemantik api yang terbuat dari batu.
Setelah berjalan kaki berhari-hari, menerobos hutan dan menyeberangi sungai, mereka sampai di tepi Hutan Roban di luar kota Batang, Pekalongan.
Hutan itu terkenal angker, sehingga tidak ada yang berani merambahnya. Pohon-pohon yang ada di hutan itu besar-besar, semak belukar sangat tinggi, banyak binatang buas di dalamnya. Namun yang lebih menyeramkan, banyak perampok yang berkeliaran di tepi hutan itu. Mereka perampok yang kejam dan tidak segan-segan membantai mangsanya kalau melawan.
Menjelang malam, tatkala enam orang calon santri itu sedang mencari tempat untuk tidur, tiba-tiba muncul sesosok laki-laki. Namun karena tampangnya biasa-biasa saja, mereka tidak menaruh curiga. Bahkan orang itu kemudian bertanya apa mereka punya thithikan, karena ia akan menyulut rokok.
Namun setelah benda itu dipegangnya, ia mengatakan bahwa batu itu terlalu halus sehingga sulit dipakai untuk membuat api. “Masih perlu dibikin kasar sedikit,” kata orang itu sambil memasukkan batu tersebut ke mulutnya lalu menggigitnya sehingga pecah menjadi dua.
Terbelalak mata enam orang calon santri itu menyaksikan kekuatan mulut laki-laki itu. Mereka gemetar ketakutan. “Serahkan barang-barang kalian,” hardik orang itu. Amin, yang paling berani di antara mereka, menjawab, “Kalau barang-barang kami diambil, kami tidak bisa melanjutkan perjalanan ke Bangkalan.” Mendengar kata “Bangkalan”, orang itu tampak waswas. “Mengapa kalian ke sana?” dia balik bertanya. “Kami mau berguru kepada Mbah Kholil,” jawab Amin.
Tersentak laki-laki itu, seperti pemburu tergigit ular berbisa. Wajahnya pucat pasi, bibirnya menggigil. “Jadi kalian mau nyantri sama Kiai Kholil?” “Betul,” sahut enam calon santri itu bersamaan. Mereka gembira karena merasa tidak akan dirampok. Tapi dugaan itu meleset. “Kalau begitu, serahkan semua barangmu kepadaku,” kata lelaki itu. “Kalian tidur saja di sini, dan aku akan menjaga kalian semalaman.”
Makin ketakutan saja para remaja itu. Mereka kemudian memang membaringkan badan tapi mata tidak bisa diajak tidur semalaman. Maut seakan sudah dekat saja. Keesokan harinya, selepas mereka shalat Subuh, lelaki itu mengajak mereka pergi. “Ayo kita berangkat,” ujarnya. “Ke mana ?” tanya para calon santri. “Akan kuantar kalian ke luar dari hutan ini agar tidak diganggu oleh perampok lain,” jawabnya tampak ramah.
Dalam hati mereka bertanya-tanya, apa maunya orang ini. Namun sebelum pertanyaan itu terjawab, orang itu berkata. “Sebenarnya kalian akan aku rampok, dan menjual kalian kepada onderneming untuk dijadikan kuli kontrak di luar Jawa. Tapi ilmu saya akan berbalik mencelakakan diri saya kalau berani mengganggu para calon santri Kiai Kholil. Sebab guru saya pernah dikalahkan Kiai Kholil dengan ilmu putihnya.”
Maka enam remaja dari Kempek itu kian mantap untuk nyantri ke Bangkalan. Terlebih lagi baru di perjalanan saja untuk menuju pesantren Kiai Kholil mereka telah memperoleh karamah dari pemimpin pesantren tersebut.
0 komentar:
Posting Komentar