MEDIA DAKWAH TPQ TAHFIZHULQUR'AN HABIBUSSHOLIHIN BANYU URIP LOR SURABAYA [12/07/2012]

Hikayah Syeikh Cholil Melindungi calon santrinya dari musibah

Pada kisah yang lain, Kiai Kholil ber­usaha melindungi calon santrinya dari musibah, padahal dia berada di Bang­kalan, sementara si calon santri di te­ngah Alas Roban, Batang, Pekalongan.
Menurut cerita si calon santri yang ber­nama Muhammad Amin, ia berang­kat dari Kempek, Cirebon, bersama lima orang temannya, menuju Bangkalan, Ma­dura, untuk berguru kepada Kiai Kho­lil. Mereka tidak membawa bekal apa-apa kecuali beberapa lembar sarung, baju, dan celana untuk tidur, parang, ser­ta thithikan, alat pemantik api yang ter­buat dari batu.
Setelah berjalan kaki berhari-hari, menerobos hutan dan menyeberangi sungai, mereka sampai di tepi Hutan Roban di luar kota Batang, Pekalongan.
Hutan itu terkenal angker, sehingga tidak ada yang berani merambahnya. Pohon-pohon yang ada di hutan itu be­sar-besar, semak belukar sangat tinggi, banyak binatang buas di dalamnya. Na­mun yang lebih menyeramkan, banyak perampok yang berkeliaran di tepi hutan itu. Mereka perampok yang kejam dan tidak segan-segan membantai mangsa­nya kalau melawan.
Menjelang malam, tatkala enam orang calon santri itu sedang mencari tem­pat untuk tidur, tiba-tiba muncul se­sosok laki-laki. Namun karena tampang­nya biasa-biasa saja, mereka tidak me­naruh curiga. Bahkan orang itu kemudi­an bertanya apa mereka punya thithikan, karena ia akan menyulut rokok.
Namun setelah benda itu dipegang­nya, ia mengatakan bahwa batu itu ter­lalu halus sehingga sulit dipakai untuk membuat api. “Masih perlu dibikin kasar sedikit,” kata orang itu sambil memasuk­kan batu tersebut ke mulutnya lalu meng­gigitnya se­hingga pecah menjadi dua.
Terbelalak mata enam orang calon santri itu menyaksikan kekuatan mulut laki-laki itu. Mereka gemetar ketakutan. “Serahkan barang-barang kalian,” hardik orang itu. Amin, yang paling berani di antara me­reka, menjawab, “Kalau barang-ba­rang kami diambil, kami tidak bisa me­lanjutkan perjalanan ke Bangkalan.” Mendengar kata “Bangkalan”, orang itu tampak waswas. “Mengapa kalian ke sana?” dia balik bertanya. “Kami mau berguru kepada Mbah Kholil,” jawab Amin.
Tersentak laki-laki itu, seperti pem­buru tergigit ular berbisa. Wajahnya pu­cat pasi,  bibirnya menggigil. “Jadi kalian mau nyantri sama Kiai Kholil?” “Betul,” sahut enam calon santri itu ber­samaan. Mereka gembira karena me­rasa tidak akan dirampok. Tapi dugaan itu meleset. “Kalau begitu, serahkan semua ba­rangmu kepadaku,” kata lelaki itu. “Kali­an tidur saja di sini, dan aku akan men­jaga kalian semalaman.”
Makin ketakutan saja para remaja itu. Mereka kemudian memang membaring­kan badan tapi mata tidak bisa diajak tidur sema­laman. Maut seakan sudah dekat saja. Keesokan harinya, selepas mereka shalat Subuh, lelaki itu mengajak mereka pergi. “Ayo kita berangkat,” ujarnya. “Ke mana ?” tanya para calon santri. “Akan kuantar kalian ke luar dari hu­tan ini agar tidak diganggu oleh peram­pok lain,” jawabnya tampak ramah.
Dalam hati mereka bertanya-tanya, apa maunya orang ini. Namun sebelum pertanyaan itu terjawab, orang itu ber­kata. “Sebenarnya kalian akan aku ram­pok, dan menjual kalian kepada onder­neming untuk dijadikan kuli kontrak di luar Jawa. Tapi ilmu saya akan berbalik mencelakakan diri saya kalau berani mengganggu para calon santri Kiai Kholil. Sebab guru saya pernah dikalah­kan Kiai Kholil dengan ilmu putihnya.”
Maka enam remaja dari Kempek itu kian mantap untuk nyantri ke Bangkalan. Terlebih lagi baru di perjalanan saja un­tuk menuju pesantren Kiai Kholil mereka telah memperoleh karamah dari pemim­pin pesantren tersebut.

Hikayah Syeikh Cholil Melindungi calon santrinya dari musibah

Pada kisah yang lain, Kiai Kholil ber­usaha melindungi calon santrinya dari musibah, padahal dia berada di Bang­kalan, sementara si calon santri di te­ngah Alas Roban, Batang, Pekalongan.
Menurut cerita si calon santri yang ber­nama Muhammad Amin, ia berang­kat dari Kempek, Cirebon, bersama lima orang temannya, menuju Bangkalan, Ma­dura, untuk berguru kepada Kiai Kho­lil. Mereka tidak membawa bekal apa-apa kecuali beberapa lembar sarung, baju, dan celana untuk tidur, parang, ser­ta thithikan, alat pemantik api yang ter­buat dari batu.
Setelah berjalan kaki berhari-hari, menerobos hutan dan menyeberangi sungai, mereka sampai di tepi Hutan Roban di luar kota Batang, Pekalongan.
Hutan itu terkenal angker, sehingga tidak ada yang berani merambahnya. Pohon-pohon yang ada di hutan itu be­sar-besar, semak belukar sangat tinggi, banyak binatang buas di dalamnya. Na­mun yang lebih menyeramkan, banyak perampok yang berkeliaran di tepi hutan itu. Mereka perampok yang kejam dan tidak segan-segan membantai mangsa­nya kalau melawan.
Menjelang malam, tatkala enam orang calon santri itu sedang mencari tem­pat untuk tidur, tiba-tiba muncul se­sosok laki-laki. Namun karena tampang­nya biasa-biasa saja, mereka tidak me­naruh curiga. Bahkan orang itu kemudi­an bertanya apa mereka punya thithikan, karena ia akan menyulut rokok.
Namun setelah benda itu dipegang­nya, ia mengatakan bahwa batu itu ter­lalu halus sehingga sulit dipakai untuk membuat api. “Masih perlu dibikin kasar sedikit,” kata orang itu sambil memasuk­kan batu tersebut ke mulutnya lalu meng­gigitnya se­hingga pecah menjadi dua.
Terbelalak mata enam orang calon santri itu menyaksikan kekuatan mulut laki-laki itu. Mereka gemetar ketakutan. “Serahkan barang-barang kalian,” hardik orang itu. Amin, yang paling berani di antara me­reka, menjawab, “Kalau barang-ba­rang kami diambil, kami tidak bisa me­lanjutkan perjalanan ke Bangkalan.” Mendengar kata “Bangkalan”, orang itu tampak waswas. “Mengapa kalian ke sana?” dia balik bertanya. “Kami mau berguru kepada Mbah Kholil,” jawab Amin.
Tersentak laki-laki itu, seperti pem­buru tergigit ular berbisa. Wajahnya pu­cat pasi,  bibirnya menggigil. “Jadi kalian mau nyantri sama Kiai Kholil?” “Betul,” sahut enam calon santri itu ber­samaan. Mereka gembira karena me­rasa tidak akan dirampok. Tapi dugaan itu meleset. “Kalau begitu, serahkan semua ba­rangmu kepadaku,” kata lelaki itu. “Kali­an tidur saja di sini, dan aku akan men­jaga kalian semalaman.”
Makin ketakutan saja para remaja itu. Mereka kemudian memang membaring­kan badan tapi mata tidak bisa diajak tidur sema­laman. Maut seakan sudah dekat saja. Keesokan harinya, selepas mereka shalat Subuh, lelaki itu mengajak mereka pergi. “Ayo kita berangkat,” ujarnya. “Ke mana ?” tanya para calon santri. “Akan kuantar kalian ke luar dari hu­tan ini agar tidak diganggu oleh peram­pok lain,” jawabnya tampak ramah.
Dalam hati mereka bertanya-tanya, apa maunya orang ini. Namun sebelum pertanyaan itu terjawab, orang itu ber­kata. “Sebenarnya kalian akan aku ram­pok, dan menjual kalian kepada onder­neming untuk dijadikan kuli kontrak di luar Jawa. Tapi ilmu saya akan berbalik mencelakakan diri saya kalau berani mengganggu para calon santri Kiai Kholil. Sebab guru saya pernah dikalah­kan Kiai Kholil dengan ilmu putihnya.”
Maka enam remaja dari Kempek itu kian mantap untuk nyantri ke Bangkalan. Terlebih lagi baru di perjalanan saja un­tuk menuju pesantren Kiai Kholil mereka telah memperoleh karamah dari pemim­pin pesantren tersebut.

Hikayah Kyai kholil berguru ke kyai pasuruan


Ketika Kiai Kholil masih muda, dia mendengar bahwa di Pasuruan ada se­orang kiai yang sangat sakti mandra­guna. Namanya Abu Darin. Kholil muda ingin sekali belajar kepada Abu Darin. Sema­ngat untuk menimba ilmu itu begitu meng­gebu-gebu pada dirinya sehingga jarak tempuh yang begitu jauh dari Bang­kalan di Pulau Madura ke Pasuruan di Pulau Jawa tidak dianggapnya sebagai rintang­an berarti, meski harus berjalan kaki.
Namun apa daya, sesampainya Kholil muda di Desa Wilungan, Pasuruan, tem­pat kiai Abu Darin membuka pesantren, ternyata Kiai Abu Darin sudah wafat. Dia meninggal hanya beberapa hari sebelum kedatangan Kholil muda. Habislah ha­rapannya untuk mewujudkan cita-cita­nya berguru kepada kiai yang mempu­nyai ilmu tinggi tersebut.
Dengan langkah gontai karena capai fisik dan penat mental, hari berikutnya Kho­lil berta’ziyah ke makam Kiai Abu Da­rin. Di depan pusara Kiai Darin, Kholil membaca Al-Qur’an hingga 40 hari. Dan pada hari yang ke-41, ketika Kholil te­ngah ketiduran di makam, Kiai Abu Darin hadir dalam mimpinya.
Dalam kesempatan itu almarhum mengatakan kepada Kholil, “Niatmu untuk belajar sungguh terpuji. Telah aku ajarkan ke­padamu beberapa ilmu, maka peliharalah.” Kholil lalu terbangun, dan serta merta dia sudah hafal kandungan kitab Imrithi, Asymuni, dan Alfiyah, kitab utama pe­santren itu. Subhanallah.

Penjelasan seputar Sholat Wustho

Badru Zaman
Assalamu'alaikum wr wb
"...Haafiduu 'ala sholawaati wa sholaatil wustho..."
Pertanyaan :
Apa yg dimaksud sholat wustho ? Waktunya kapan ?Apakah ada kaitannya dengan sholat Hati ?

JAWABAN :

yg dimaksud sholat wustho adalh sholat ashar

167 - وفي رواية ابن طهمان قال شغل رسول الله يوم الأحزاب عن صلاة العصر حتى صلوا بين المغرب والعشاء فقال شغلونا عن الصلاة الوسطى صلاة العصر ملأ الله قبورهم وبيوتهم نارا رواه مسلم في الصحيح عن أبي بكر بن أبي شيبة وغيره 168 - أخبرنا أبو الحسن بن عبدان ابنا أحمد بن عبيد الصفار ثنا عباس ابن الفضل ثنا أحمد بن عبد الله بن يونس نا أبو بكر بن عياش عن عاصم زر قال قلنا لعبيدة سل عليا رضي الله عنه عن صلاة الوسطى فسأله فقال قال رسول الله يوم الأحزاب شغلونا عن صلاة الوسطى صلاة العصر ملأ الله بيوتهم و قبورهم نارا

isbat adzabil qobri hal.108

http://www.piss-ktb.com/2012/03/1224-sholat-wustho.html



Panduan Sholat Sunnah Hajad Lengkap














Dirikanlah Solat Sunat Hajat sebagaimana solat-solat biasa yang lain dengan mematuhi 13 rukun yang telah disyariatkan itu. 

1.  Lafaz dan niat:

“U-shol-lii sun-na-tal haa-ja-ti rok-’a-tai-ni lil-laa-hi ta-’aa-laa.”
aku Solat Sunat Hajat dua raka’at, kerana Allah Ta’ala. 

2.  Bacaan setelah Al-Fatihah

.
Rakaat pertama: Surah Al-Kafirun atau Ayat Al-Kursi  (satu kali atau 11 kali)


3. Bacaan Rakaat Yang ke-dua setelah al-Fatihah yaitu suroh al-Ikhlas

“Qul huwallaahu ahad, Allaahush shamad, Lam yalid walam yualad, Wa lam yakun lahu kufuwan ahad.”
“Katakanlah : Allah itu Esa! Allah tempat meminta. Dia tidak beranak dan tiada pula diperanakkan. Dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan-Nya.”
.

*Sesungguhnya sebahagian daripada doa yang tidak ditolak ialah bersolat, di mana ia membaca pada setiap rakaat ‘Surah Al-Fatihah’, ‘ayat Al-Kursi’ dan ‘Qulhu wallaahu Ahad’.
Doa,,silahkan sebisanya...

Tata Cara Sholat Tasbih Lengkap Beserta Penjelasannya









.
Niat Solat Sunat Tasbih:
a)  Niat Solat Tasbih 2 Rakaat,

“U-shol-lii sun-na-tat Tas-biyh rok-’a-tai-ni lil-laa-hi ta-’aa-laa.”
(aku Solat Sunat Tasbih dua raka’at, kerana Allah Ta’ala.)
 .
b)  Niat Solat Tasbih 4 Rakaat,



“U-shol-lii sun-na-tat Tas-biyh ar-ba-‘a rok-’a-tin lil-laa-hi ta-’aa-laa.”
(aku Solat Sunat Tasbih empat raka’at, kerana Allah Ta’ala.)



Diantara sholat yang disunahkan adalah sholat TASBIH
Sholat TASBIH berjumlah 4 rokaat yang baik dengan sekali salam bila dilakukan di siang hari dan dengan dua kali salam bila di lakukan di malam hari berdasarkan hadits nabi “sholat malam dua rokaat, dua rokaat”

Tata cara sholat Tasbih :
  1. Takbiratul Ihram (bersamaan niat)

  2. Membaca doa iftitah

  3. membaca Surat Alfaatihah

  4. membaca surat-surat dari alquran bisa memakai surat permulaan surat alhadiid, surat alhasyri, surat shoff dan surat attaghoobun karena keempat surat ini memiliki kecocokan dengan sholat tasbih bila tidak boleh memakai surat azzalzalah, al’aadiyaat, attakaatsur dan al-ikhlas

  5. membaca سبحان الله والحمد لله ولا إله إلا الله والله أكبر ولا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم
    “Subhaanallah wal hamdulillah wa laailaaha illa alloohu wallaahu akbar wa laa hawla wa laa quwwata illa billaahil ‘aliyyil ‘azhiimi”
    Sebanyak 15 kali (sebelum ruku)

  6. Ruku dan membaca سبحان الله والحمد لله ولا إله إلا الله والله أكبر ولا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم
    “Subhaanallah wal hamdulillah wa laailaaha illa alloohu wallaahu akbar wa laa hawla wa laa quwwata illa billaahil ‘aliyyil ‘azhiimi”
    Sebanyak 10 kali

  7. I’tidal dan membaca سبحان الله والحمد لله ولا إله إلا الله والله أكبر ولا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم
    “Subhaanallah wal hamdulillah wa laailaaha illa alloohu wallaahu akbar wa laa hawla wa laa quwwata illa billaahil ‘aliyyil ‘azhiimi”
    Sebanyak 10 kali

  8. sujud dan membaca سبحان الله والحمد لله ولا إله إلا الله والله أكبر ولا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم
    “Subhaanallah wal hamdulillah wa laailaaha illa alloohu wallaahu akbar wa laa hawla wa laa quwwata illa billaahil ‘aliyyil ‘azhiimi”
    Sebanyak 10 kali

  9. Duduk diantara dua sujud dan membaca سبحان الله والحمد لله ولا إله إلا الله والله أكبر ولا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم
    “Subhaanallah wal hamdulillah wa laailaaha illa alloohu wallaahu akbar wa laa hawla wa laa quwwata illa billaahil ‘aliyyil ‘azhiimi”
    Sebanyak 10 kali

  10. Sujud yang kedua dan membaca سبحان الله والحمد لله ولا إله إلا الله والله أكبر ولا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم
    “Subhaanallah wal hamdulillah wa laailaaha illa alloohu wallaahu akbar wa laa hawla wa laa quwwata illa billaahil ‘aliyyil ‘azhiimi”
    Sebanyak 10 kali

  11. Duduk istirohah (sebelum bangun untuk berdiri) dan membaca سبحان الله والحمد لله ولا إله إلا الله والله أكبر ولا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم
    “Subhaanallah wal hamdulillah wa laailaaha illa alloohu wallaahu akbar wa laa hawla wa laa quwwata illa billaahil ‘aliyyil ‘azhiimi”
    Sebanyak 10 kali

  12.  Tasyahud dan membaca سبحان الله والحمد لله ولا إله إلا الله والله أكبر ولا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم
    “Subhaanallah wal hamdulillah wa laailaaha illa alloohu wallaahu akbar wa laa hawla wa laa quwwata illa billaahil ‘aliyyil ‘azhiimi”
    Sebanyak 10 kali

  13. Maka hitungan bacaan tasbih سبحان الله والحمد لله ولا إله إلا الله والله أكبر ولا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم
    “Subhaanallah wal hamdulillah wa laailaaha illa alloohu wallaahu akbar wa laa hawla wa laa quwwata illa billaahil ‘aliyyil ‘azhiimi”

    Dalam setiap rokaat menjadi 75 kali

Hitungan jumlah tasbih dan penempatannya seperti ini paling kuatnya pendapat diantara hadits riwayat Ibni mas’ud ra. :

”Setelah takbiratul ihram 15 kali, setelah membaca fatihah sebelum membaca surat 10 kali, dalam rukuk, I’tidal sujud awal dan ke dua serta duduk dianta dua sujud masing-masing 10 kali dengan tidak membaca tasbih pada duduk istirohat dan setelah tasyahhud, kemudian setelah berdiri membaca tasbih 15 kali begitu juga setelah selesai membaca fatihah sebelum membaca surat 15 kali”
Bila engkau mampu melakukan sholat tasbih tiap hari maka lakukan, bila tidak mampu boleh sebulan sekali, setahun sekali bahkan seumur hidup sekali, bila tidak berarti anda termasuk orang malas dalam menjalani agama,

Dan berdoalah setelah usai tasyahhud akhir *sebelum salam) dengan memakai doa

DOA SOLAT TASBIH

اَللَّهُمَّ اِنَّا نَسْأَلُكَ تَوْفِيْقَ اَهْلِ الهُدَى وَاَعْمَالَ اَهْلِ اليَقِيْنِ وَمُنَاصَحَةَ اَهْلِ التَّوْبَةِ وَعَزْمَ اَهْلِ الصَّبْرِ وَوَجَلَ اَهْلِ الْخَشْيَةِ وَطَلَبَ اَهْلِ الرَّغْبَةِ وَتَعَبُّدَ اَهْلِ الْوَرَعِ وَعِرْفَانَ اَهْلِ اْلعِلْمِ حَتَّى نَخَافَـكَ

اَللَّهُمَّ اِنَّا نَسْأَلُكَ مَخَافَةَ تُحْجِزُنَا عَنْ مَعَاصِيْكَ حَتَّى نَعْمَلَ بِطَاعَتِـكَ سُبْحَانَ خَالِقَ النُّوْرُ.
والصَلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَي سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَي اَلِهِ وَصَحْبِهِ اَجْمَعِيْنَ والحَمْدُ للهِ رَبِّ
العَالَمِيْنَ

" Ya Allah aku meminta padaMu pertolongan (melakukan kebaikan) sebagaimana yang
Engkau berikan kepada orang-orang yang mendapatkan petunjuk, amal-amal yang dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai keyakinan tinggi, nasihat-nasihat orang yang ahli bertaubat, kemauan kuat yang dimiliki orang-orang yang ahli bersabar, kesungguhan orang-orang yang selalu takut (padaMu), permintaan orang-orang yang selalu cinta (padaMu), beribadahnya orang-orang yang ahli menjaga diri dari perkara subhat, pengetahuan orang-orang yang ahli dalam ilmu (agama) sehingga akupun dapat takut kepada Mu. Ya Allah sesungguhnya aku meminta padaMu rasa takut yang menjagaku dari melakukan kemaksiatan padaMu, sehingga dengan taat padaMu akupun bisa melakukan amal, yang dengannya bisa kuraih ridloMu dan dengan taubat aku dapat mengambil rasa takut kepada Engkau, dan kumurnikan padaMu nasehat karena malu pada Engkau. Dan aku pasrahkan segala urusan padaMu karena wujudnya prasangka baik kepadaMu. Maha Suci Allah Sang Pencipta Cahaya".

Nihaayah Azzain I/115

http://www.piss-ktb.com/2011/08/tata-cara-sholat-tasbih.html

Mantan Santri ngaji di MTA, kini Bertaubat dan kembali mengikuti ajaran Para Ulama Salaf

Sebuah pengakuan dari saudara : Abu Faris Bambang Surono ( mantan anggota MTA Cabang Mojosongo Boyolali).
Mengapa Saya Keluar dari MTA (Majlis Tafsir Al-Quran)?
Majlis Tafsir Al-Qur’an (MTA) adalah sebuah lembaga pendidikan dan dakwah Islam yang berkedudukan di Surakarta yang didirikan oleh ustadz Abdullah Thufail Saputra rahimahullah pada tahun 1972 dengan tujuan untuk mengajak umat Islam kembali kepada Al-Qur’an.

Dua puluhan tahun sudah saya aktif di MTA, tepatnya sejak bulan Oktober 1987 di Cabang Mojosongo Boyolali. Sungguh suatu fase kehidupan yang membahagiakan dan bersemangat dalam Quran dan Sunnah. Banyak hal yang saya dapatkan, mulai dari tersadarnya akan perlunya ilmu, ittiba’ dan menjauhi syirik, tidak sekedar ikut-ikutan dalam tradisi masyarakat, sampai bagaimana memunculkan al haq sebagai suatu perjuangan dakwah.

 MTA Jakarta menjadi awal keistiqomahan saya di MTA, yang semula mustami’ biasa menjadi siswa tetap, bahkan sampai khususi (bai’at dengan pimpinan MTA). Beberapa tugas atau kepercayaan yang pernah diberikan Pimpinan Perwakilan kepada saya selama di MTA Jakarta antara lain, menjadi ketua panitia kurban beberapa kesempatan, ikut mewakili pertemuan-pertemuan pengurus di MTA Pusat (Pertemuan Ahad Siang), menjadi ketua Tim Janaiz (sempat menerbitkan buku), dilibatkan dalam pembinaan calon Cabang di Cikampek (sekarang Karawang) dari tahun 1997, dan moment-moment penting lainya dalam kegiatan Perwakilan.

Terakhir sebelum saya pamit keluar dari MTA awal tahun 2010, saya masih dipercaya sebagai Koordinator Tim Dakwah dan Koordinator Satgas untuk Jakarta dan sekitarnya,
Awal mula pencetus kenapa saya pamit keluar dari MTA adalah adanya statemen MTA bahwa ‘Siapa yang berbeda (punya faham yang beda dengan MTA) lebih baik keluar (dari MTA)’. Saat Ketua Perwakilan memberitahukan statemen itu secara khusus kepada saya, saat itu juga langsung saya pamit keluar.

Perlu saya tegaskan, keputusan saya bukan didasari karena ada masalah pribadi dengan persons-persons MTA atau kepengurusan MTA, murni karena faham dan pendirian.
Kenapa ini saya angkat?
Karena ada rumor seolah-olah orang yang keluar dari MTA adalah orang-orang yang ‘bermasalah’ dalam konotasi negatif. Perlu diketahui juga, malam sebelum saya pamit keluar, saya masih mengisi pengajian atas nama MTA dan membahas perjodohan lewat telepon dengan ketua perwakilan sampai hampir setengah-an jam.
Apa alasannya?
Orang akan bertanya, kalau memang sudah punya faham berbeda kenapa nggak dari awal bersikap?
Waktu itu saya berfikir bahwa saya bisa memperbaiki dari dalam dengan posisi yang ada. Saya lupa bahwa tidak ada perintah dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam untuk memelihara firqah, yang ada tentu tinggalkan firqah! (Hadits Hudzaifah)
Ada faham apa sih di MTA (yang saya selisihi)?
Semula tidak banyak yang saya selisihi, tapi ternyata berkembang menjadi banyak, dan tersimpul dalam tiga masalah besar, yaitu masalah jama’ah, aqidah, dan manhaj.

Dalam masalah jama’ah, MTA memiliki Imam sendiri yang dibai’at, dita’ati dan seterusnya, sebagaimana LDII, Jama’atul Muslimin (Hizbullah), MMI, Ikhwani dan lain-lain. Kalau mereka ini jama’ah sebagaimana hadits Rasulullah, lantas mana firqah-firqah yang banyak yang disebutkan Rasulullah. Sudah sangat jelas mereka membangun wala dan bara di atas kelompoknya. (bahkan di sebagian tempat ada boikot terhadap orang yang keluar dari MTA)

Dalam masalah aqidah, MTA mengingkari syafa’at di akhirat, mengimani kalau orang islam masuk neraka ya selamanya sebagaimana pemahaman khawarij/mu’tazilah (tidak ada jahanamiyyun), mengingkari kesurupan jin, mengimani bahwa malam lailatul qadr sudah tidak ada lagi, mengimani bahwa Allah tidak menetapkan taqdir (tapi sebagai sebab akibat murni, ini pemahaman qadariyah mu’tazilah), tidak mengimani beberapa peristiwa hari akhir antara lain turunnya Isa, munculnya Dajjal, dan Imam Mahdi, beraqidah Asy’ariyah dengan menakwilkan asma wa sifat Allah, istawa nya Allah, wajah Allah, tangan Allah, Allah dimana-mana, dan lain-lain

Dalam masalah manhaj, metodologi MTA dalam memahami agama adalah mendahulukan akal, kadang mengesampingkan hadits shahih (bila dianggap menyelisihi Al-Quran), apalagi atsar, atau perkataan para ‘ulama kibar. Dari metodologi ini maka anjingpun jadi halal, sutera dan emas untuk laki-laki juga mubah, atau paling banter jadi makruh hukumnya.
Disamping itu, dalam masalah fikh juga terjerumus dalam bid,ah, padahal masalah memerangi bid’ah ini menjadi jargon MTA. Sangat ironis memang! Contohnya, menerapkan zakat tanpa memakai haul dan nishab, orang safar boleh bertayamum (bahkan menjadi kebiasaan sebagian besar warga MTA) walaupun di depan mata ada air yang melimpah.

  • Pesan dari pengelola blog habibussholihin.blogspot.com
  • agar mewaspadai aliran/ormas tersebut jangan sampai terombang ambing olehnya.

4 Orang Terkaya di Indonesia ternyata diraih oleh orang sholat 2 Roaat sebelum Subuh/ Masya Allh...

Dari A’isyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


رَكْعَتَا الْفَجْرِ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا


”Dua rakaat fajar, lebih baik dari pada dunia seisinya.” (HR. Muslim 725, Nasai 1759, Turmudzi 416, dan yang lainnya).


Kemudian, juga hadis dari A’isyah radhiyallahu ‘anha, beliau menceritakan,


لَمْ يَكُنِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى شَيْءٍ مِنَ النَّوَافِلِ أَشَدَّ مِنْهُ تَعَاهُدًا عَلَى رَكْعَتَيِ الفَجْرِ


Tidak ada shalat sunah yang lebih diperhatikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari pada dua rakaat fajar.
(HR. Bukhari 1169).

Hadits ini menunjukkan semangat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memelihara dua rakaat ini daripada shalat sunnat yang lain.
Shalat-shalat sunnat rawâtib (shalat yang menyertai shalat fardhu) tidak sama keutamannya. Shalat sunnat Subuh menempati urutan teratas. Sebab, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkannya meski beliau berada dalam perjalanan. Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan bahwa perhatian dan konsistensi beliau paling besar pada shalat sunnat Subuh. Oleh sebab itu, beliau tidak pernah melupakannya, baik saat berada di rumah ataupun bepergian.

Niat sholat Sunnah fajar/ Qobliah Subuh.



USHOLLI.. SUNNATAS – SHUBHI RAK’ATAINl “QABLIYYATAN” LILLAAHI-TA’AALA..
Artinya : {” Saya niat sholat sunnah sebelum Subuh dua raka’at, karena Allah Ta’ala.. “}

Dialog dengan Wahabi tentang Dzikir Tahlil 7 hari, hari ke- 40, 100 dan 1000











Dialog Sesi 1

WAHABI: “Anda harus meninggalkan Tahlilan 7 hari, hari ke 40, 100 dan ke 1000. Kalau tidak, Anda akan masuk neraka!”

SUNNI: “Apa alasan Anda mewajibkan kami meninggalkan Tahlilan 7 hari, hari ke 40, 100 dan 1000?”

WAHABI: “Karena itu tasyabbuh dengan orang-orang Hindu. Mereka orang kafir. Tasyabbuh dengan kafir berarti kafir pula!”

SUNNI: “Owh, itu karena Anda baru belajar ilmu agama. Coba Anda belajar di pesantren Ahlussunnah wal Jama’ah, Anda tidak akan bertindak sekasar ini. Anda pasti malu dengan tindakan Anda yang kasar dan sangat tidak Islami. Ingat, Islam itu mengedepankan akhlaqul karimah, budi pekerti yang mulia. Bukan sikap kasar seperti Anda.”

WAHABI: “Kalau begitu, menurut Anda acara Tahlilan dalam hari-hari tersebut bagaimana?”

SUNNI: “Justru acara dzikir Tahlilan pada hari-hari tersebut hukumnya sunnah, agar kita berbeda dengan Hindu.”

WAHABI: “Mana dalilnya? Bukankah pada hari-hari tersebut orang-orang Hindu melakukan kesyirikan!?”

SUNNI: “Justru karena pada hari-hari tersebut, orang Hindu melakukan kesyirikan dan kemaksiatan, kita lawan mereka dengan melakukan kebajikan, dzikir bersama kepada Allah Swt. dengan Tahlilan. Dalam kitab-kitab hadits diterangkan:

عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ رضي الله عنه قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم:ذَاكِرُ اللهِ فِي الْغَافِلِيْنَ بِمَنْزِلَةِ الصَّابِرِ فِي الْفَارِّيْنَ.

Dari Ibnu Mas’ud Ra. bahwa Rasulullah Saw. bersabda: “Orang yang berdzikir kepada Allah di antara kaum yang lalai kepada Allah, sederajat dengan orang yang sabar di antara kaum yang melarikan diri dari medan peperangan.” (HR. ath-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir no. 9797 dan al-Mu’jam al-Ausath no. 271. Al-Hafidz as-Suyuthi menilai hadits tersebut shahih dalam al-Jami’ ash-Shaghir no. 4310).

Dalam acara tahlilan selama 7 hari kematian, kaum Muslimin berdzikir kepada Allah, ketika pada hari-hari tersebut orang Hindu melakukan sekian banyak kemungkaran. Betapa indah dan mulianya tradisi Tahlilan itu.

WAHABI: “Saya tidak menerima alasan dan dalil Anda. Bagaimanapun dengan Tahlilan pada 7 hari kematian, hari ke 40, 100 dan 1000, kalian berarti menyerupai atau tasyabbuh dengan Hindu, dan itu tidak boleh!”

SUNNI: “Itu karena Anda tidak mengerti maksud tasyabbuh. Tasyabbuh itu bisa terjadi, apabila perbuatan yang dilakukan oleh kaum Muslimin pada hari-hari tersebut persis dengan apa yang dilakukan oleh orang Hindu. Kaum Muslimin Tahlilan. Orang Hindu jelas tidak Tahlilan. Ini kan beda.”

WAHABI: “Tapi penentuan waktunya kan sama!?”

SUNNI: “Ya ini, karena Anda baru belajar ilmu agama. Kesimpulan hukum seperti Anda, yang mudah mengkafirkan orang karena kesamaan soal waktu, bisa berakibat mengkafirkan Rasulullah Saw.”

WAHABI: “Kok bisa berakibat mengkafirkan Rasulullah!?”

SUNNI: “Anda harus tahu, bahwa kesamaan waktu itu tidak menjadi masalah, selama perbuatannya beda. Coba Anda perhatikan hadits ini:

عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ يَوْمَ السَّبْتِ وَيَوْمَ اْلأَحَدِ أَكْثَرَ مِمَّا يَصُومُ مِنْ اْلأَيَّامِ وَيَقُولُ إِنَّهُمَا عِيدَا الْمُشْرِكِينَ فَأَنَا أُحِبُّ أَنْ أُخَالِفَهُمْ.

Ummu Salamah Ra. berkata: “Rasulullah Saw. selalu berpuasa pada hari Sabtu dan Ahad, melebihi puasa pada hari-hari yang lain. Beliau Saw. bersabda: “Dua hari itu adalah hari raya orang-orang Musyrik, aku senang menyelisihi mereka.” (HR. Ahmad no. 26750, an-Nasa’i juz 2 halaman 146, dan dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban).

Dalam hadits di atas jelas sekali, karena pada hari Sabtu dan Ahad, kaum Musyrik menjadikannya hari raya. Maka Rasulullah Saw. menyelisihi mereka dengan berpuasa. Sama dengan kaum Muslimin Indonesia. Karena orang Hindu mengisi hari-hari yang Anda sebutkan dengan kesyirikan dan kemaksiatan, yang merupakan penghinaan kepada si mati, maka kaum Muslimin mengisinya dengan dzikir Tahlilan sebagai penghormatan kepada si mati.

WAHABI: “Owh, iya ya.”

SUNNI: “Saya ingin tanya, Anda tahu dari mana bahwa hari-hari tersebut, asalnya dari Hindu?”

WAHABI: “Ya, baca kitab Weda, kitab sucinya Hindu.”

SUNNI: “Alhamdulillah, kami kaum Sunni tidak pernah baca kitab Weda.”

WAHABI: “Awal mulanya sih, ada muallaf asal Hindu, yang menjelaskan masalah di atas. Sering kami undang ceramah pengajian kami. Akhirnya kami lihat Weda.”

SUNNI: “Itu kesalahan Anda, orang Wahabi, yang lebih senang belajar agama kepada muallaf dan gengsi belajar agama kepada para kyai pesantren yang berilmu. Jelas, ini termasuk bid’ah tercela.”

WAHABI: “Terima kasih ilmunya.”

SUNNI: “Anda dan golongan Anda tidak melakukan Tahlilan, silakan. Bagi kami tidak ada persoalan. Tapi jangan coba-coba menyalahkan kami yang mengadakan dzikir Tahlilan.”

Dialog Sesi 2

Beberapa waktu yang lalu, setelah kami menulis status tentang dalil-dalil bolehnya dzikir Tahlilan 7 hari, hari ke 40, 100 dan 1000, dan bahwa hal tersebut tidak termasuk tasyabbuh yang dilarang, ada sebagian Wahabi yang menulis bantahan dan mengutip dari kitab al-Istinfar karya Syaikh Ahmad al-Ghumari dan al-Bidayah wa an-Nihayah karya al-Hafidz Ibnu Katsir asy-Syafi’i. Akan tetapi setelah kami lihat, ternyata argument bantahan tersebut sama sekali tidak mengena terhadap persoalan yang dibahas. Oleh karena itu, di sini kami tulis jawaban secara ilmiah.

WAHABI: “Kita tidak boleh shalat ketika matahari tepat terbit dan matahari tepat terbenam. Karena matahari terbit dan terbenam antara dua tanduk setan, dan orang kafir sujud pada saat itu. Maka kita dilarang tasyabbuh kepadanya!

صَلِّ صَلَاةَ الصُّبْحِ، ثُمَّ أَقْصِرْ عَنِ الصَّلَاةِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ حَتَّى تَرْتَفِعَ، فَإِنَّهَا تَطْلُعُ حِينَ تَطْلُعُ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ، وَحِينَئِذٍ يَسْجُدُ لَهَا الْكُفَّارُ

“Lakukan shalat Shubuh kemudian berhentilah shalat sampai terbitnya matahari hingga dia agak naik meninggi, karena matahari itu terbit antara dua tanduk setan dan saat itulah orang-orang kafir sujud.” Kemudian beliau Saw. juga bersabda di hadits yang sama:

ثُمَّ أَقْصِرْ عَنِ الصَّلَاةِ حَتَّى تَغْرُبَ الشَّمْسُ، فَإِنَّهَا تَغْرُبُ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ، وَحِينَئِذٍ يَسْجُدُ لَهَا الْكُفَّارُ

“Kemudian hentikan shalat sampai terbenam matahari karena dia terbenam antara dua tanduk setan dan saat itulah orang-orang kafir bersujud.”

SUNNI: “Shalat memang beda dengan dzikir dan Tahlilan. Ketika matahari tepat terbit dan matahari tepat terbenam, shalat sunnah tidak boleh dilakukan. Tetapi untuk dzikir dan Tahlilan justru dianjurkan. Dalam kitab-kitab dijelaskan:

عن أنس بن مالك رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: من صلى الفجر فى جماعة ثم قعد يذكر الله حتى تطلع الشمس ثم يصلى ركعتين كانت له كأجر حجة وعمرة تامة تامة تامة.

Anas bin Malik Ra. berkata bahwa Rasulullah Saw. bersabda: “Barangsiapa yang menunaikan shalat Fajar (Shubuh), kemudian duduk berdzikir kepada Allah hingga matahari terbit, kemudian shalat 2 rakaat, maka ia memperoleh pahala seperti pahala haji dan umrah sempurna sempurna sempurna.” (HR. at-Tirmidzi no. 586, dan berkata ini hadits hasan gharib).

عَنْ سَهْلِ بْنِ مُعَاذِ بْنِ أَنَسٍ الْجُهَنِىِّ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « مَنْ قَعَدَ فِى مُصَلاَّهُ حِينَ يَنْصَرِفُ مِنْ صَلاَةِ الصُّبْحِ حَتَّى يُسَبِّحَ رَكْعَتَىِ الضُّحَى لاَ يَقُولُ إِلاَّ خَيْرًا غُفِرَ لَهُ خَطَايَاهُ وَإِنْ كَانَتْ أَكْثَرَ مِنْ زَبَدِ الْبَحْرِ ».

Dari Sahal bin Mu’adz bin Anas al-Juhani, dari ayahnya, bahwa Rasulullah Saw. bersabda: “Barangsiapa yang duduk di tempat shalatnya ketika selesai shalat Shubuh sampai menunaikan 2 rakaat shalat Dhuha, ia tidak berkata kecuali kebaikan, maka dosa-dosanya diampuni meskipun lebih banyak daripada buih di lautan.” (HR. Abu Dawud no. 1287, ath-Thabarani no. 442, al-Baihaqi no. 4686 dan Ahmad no. 15661).

عَنْ أَبِي أُمَامَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لأَنْ أَقْعُدَ أَذْكُرُ اللهَ وَأُكَبِّرُهُ وَأَحْمَدُهُ وَأُسَبِّحُهُ وَأُهَلِّلُهُ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَعْتِقَ رَقَبَتَيْنِ أَوْ أَكْثَرَ مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيلَ وَمِنْ بَعْدِ الْعَصْرِ حَتَّى تَغْرُبَ الشَّمْسُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَعْتِقَ أَرْبَعَ رِقَابٍ مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيلَ

Dari Abu Umamah, bahwa Rasulullah Saw. bersabda: “Seandainya aku duduk berdzikir kepada Allah, mengagungkanNya, memujiNya, bertasbih dan bertahlil kepadaNya hingga matahari terbit, lebih aku cintai daripada aku memerdekatan 2 budak atau lebih dari keturunan Ismail. Dan dari setelah shalat Ashar hingga matahari terbenam, lebih aku senangi daripada aku memerdekakan 4 orang budak dari keturunan Ismail.” (HR. Ahmad no. 22194, dan sanadnya hasan).

Dalam hadits-hadits di atas, dan hadits-hadits lain yang tidak kami sebutkan di sini sangat jelas bahwa waktu dzikir, termasuk Tahlilan dan Yasinan, lebih luwes dan lebih longgar daripada waktu shalat. Meskipun orang-orang kafir sedang menyembah matahari atau orang Hindu sedang melakukan ritual keagamaan, dzikir seperti Tahlilan tetap dianjurkan. Oleh karena itu, perkatan Syaikh Ahmad al-Ghumari dalam kitabnya al-Istinfar li Ghazw at- Tasyabbuh bi al-Kuffar halaman 33:

قال العلماء : نهى صلى الله عليه وسلم عن الصلاة في هذين الوقتين الذين يسجد فيهما الكفار للشمس وإن كان المؤمن لا يسجد إلا لله تعالى حسما لمادة المشابهة وسدا للذريعة. وفيه تنبيه على أن كل ما يفعله المشركون ينهى المؤمن عن ظاهره وإن لم يقصد التشبه فرارا من الموافقة في الصورة والظاهر.

“Para ulama mengatakan, Rasulullah Saw. melarang shalat di kedua waktu yang bersujud padanya orang-orang kafir kepada matahari, meskipun orang mukmin tidak sujud kecuali kepada Allah Ta’ala. Tujuannya adalah untuk memutus materi musyabahah (penyerupaan) dan menutup jalan. Di dalamnya juga ada peringatan bahwa setiap yang dilakukan kaum musyrikin maka kaum mukmin dilarang melakukannnya dari sisi dzahir yang sama meski dia tidak bermaksud menyerupai (orang musyrik itu) demi menghindarkan diri dari ketersesuaian dalam bentuk dan dalam dzahir (fenomena).”

Perkataan tersebut tidak dapat diartikan secara mutlak, mencakup terhadap semua bentuk ibadah seperti dzikir. Karena dzikir memang berbeda dengan shalat. Dalam hadits lain tentang dzikir, Rasulullah Saw. bersabda:

عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " لَيْسَ يَتَحَسَّرُ أَهْلُ الْجَنَّةِ إِلا عَلَى سَاعَةٍ مَرَّتْ بِهِمْ لَمْ يَذْكُرُوا اللهَ فِيهَا.

Mu’adz bin Jabal berkata bahwa Rasulullah Saw. bersabda: “Tidak pernah menyesal penduduk surga kecuali karena satu waktu yang mereka lalui, sedangkan mereka tidak mengisinya dengan dzikir kepada Allah.” (HR. al-Hakim, at-Tirmidzi juz 4 halaman 106, ath-Thabarani no. 182, al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman no. 513 dan ad-Dailami no. 5244. Al-Hafidz ad-Dimyathi berkata: “Sanad hadits ini jayyid.” Lihat dalam al-Matjar ar-Rabih halaman 205).

Hadits ini memberikan pesan, bahwa dzikir dianjurkan setiap saat, tanpa dibatasi dengan waktu. Oleh karena itu perkataan Syaikh al-Ghumari dalam al-Istinfar, demikian pula perkataan al-Hafidz Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wa an-Nihayah, keduanya sepertinya mengutip dari Ibnu Taimiyah dalam Iqtidha’ ash-Shirath al-Mustaqim, tidak dapat diartikan secara mutlak. Bahkan Syaikh Ibnu Taimiyah sendiri, mengamalkan dzikir sejak selesai shalat Shubuh sampai matahari naik ke atas. Syaikh Umar bin Ali al-Bazzar, murid Syaikh Ibnu Taimiyah berkata:

فَإِذَا فَرَغَ مِنَ الصَّلاةِ أَثْنَى عَلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ هُوَ وَمَنْ حَضَرَ بِمَا وَرَدَ مِنْ قَوْلِهِ الَلَّهُمَّ اَنْتَ السَّلامُ وَمِنْكَ السَّلامُ تَبَارَكْتَ يَا ذَا الْجَلاَلِ وَاْلإِكْرَامِ ثُمَّ يُقْبِلُ عَلَى الْجَمَاعَةِ ثُمَّ يَأْتِيْ بِالتَّهْلِيْلاَتِ الْوَارِدَاتِ حِيْنَئِذٍ ثُمَّ يُسَبِّحُ اللهَ وَيَحْمَدُهُ وَيُكَبِّرُهُ ثَلاثًا وَثَلاثِيْنَ وَيَخْتِمُ الْمِائَةَ بِالتَّهْلِيْلِ كَمَا وَرَدَ وَكَذَا الْجَمَاعَةُ ثُمَّ يَدْعُو اللهَ تَعَالى لَهُ وَلَهُمْ وَلِلْمُسْلِمِيْنَ. وَكَانَ قَدْ عُرِفَتْ عَادَتُهُ؛ لاَ يُكَلِّمُهُ أَحَدٌ بِغَيْرِ ضَرُوْرَةٍ بَعْدَ صَلاةِ الْفَجْرِ فَلاَ يَزَالُ فِي الذِّكْرِ يُسْمِعُ نَفْسَهُ وَرُبَّمَا يُسْمِعُ ذِكْرَهُ مَنْ إِلَى جَانِبِهِ، مَعَ كَوْنِهِ فِيْ خِلاَلِ ذَلِكَ يُكْثِرُ فِي تَقْلِيْبِ بَصَرِهِ نَحْوَ السَّمَاءِ. هَكَذَاَ دَأْبُهُ حَتَّى تَرْتَفِعَ الشَمْسُ وَيزُوْلَ وَقْتُ النَّهْيِ عَنِ الصَّلاةِ. وَكُنْتُ مُدَّةَ إِقَامَتِيْ بِدِمَشْقَ مُلاَزِمَهُ جُلَّ النَّهَارِ وَكَثِيْراً مِنَ اللَّيْلِ. وَكَانَ يُدْنِيْنِيْ مِنْهُ حتَّى يُجْلِسَنِيْ إِلَى جَانِبِهِ، وَكُنْتُ أَسْمَعُ مَا يَتْلُوْ وَمَا يَذْكُرُ حِيْنَئِذٍ، فَرَأَيْتُهُ يَقْرَأُ الْفَاتِحَةَ وَيُكَرِّرُهَا وَيَقْطَعُ ذَلِكَ الْوَقْتَ كُلَّهُ ـ أَعْنِيْ مِنَ الْفَجْرِ إِلَى ارْتِفَاعِ الشَّمْسِ ـ فِيْ تَكْرِيْرِ تِلاَوَتِهَا. فَفَكَّرْتُ فِيْ ذَلِكَ؛ لِمَ قَدْ لَزِمَ هَذِهِ السُّوْرَةَ دُوْنَ غَيْرِهَا؟ فَبَانَ لِيْ ـ وَاللهُ أَعْلَمُ ـ أَنَّ قَصْدَهُ بِذَلِكَ أَنْ يَجْمَعَ بِتِلاَوَتِهَا حِيْنَئِذٍ مَا وَرَدَ فِي اْلأَحَادِيْثِ، وَمَا ذَكَرَهُ الْعُلَمَاءُ: هَلْ يُسْتَحَبُّ حِيْنَئِذٍ تَقْدِيْمُ اْلأَذْكَارِ الْوَارِدَةِ عَلَى تِلاَوَةِ الْقُرْآنِ أَوِ الْعَكْسُ؟ فرَأَى أَنَّ فِي الْفَاتِحَةِ وَتِكْرَارِهَا حِيْنَئِذٍ جَمْعاً بَيْنَ الْقَوْلَيْنِ وَتَحْصِيْلاً لِلْفَضِيْلَتَيْنِ، وَهَذَا مِنْ قُوَّةِ فِطْنَتِهِ وَثَاقِبِ بَصِيْرَتٍهٍ، اهـ .

“Apabila Ibn Taimiyah selesai shalat Shubuh, maka ia berdzikir kepada Allah bersama jamaah dengan doa yang datang dari Nabi Saw.: “Allahumma antassalam...” Lalu ia menghadap kepada jamaah, lalu membaca tahlil-tahlil yang datang dari Nabi Saw., lalu tasbih, tahmid dan takbir, masing-masing 33 kali. Dan diakhiri dengan tahlil sebagai bacaan yang keseratus. Ia membacanya bersama jamaah yang hadir. Kemudian ia berdoa kepada Allah Swt. untuk dirinya dan jamaah serta kaum Muslimin. Kebiasaan Ibn Taimiyah telah maklum, ia sulit diajak bicara setelah shalat Shubuh kecuali terpaksa. Ia akan terus berdzikir pelan, cukup didengarnya sendiri dan terkadang dapat didengar oleh orang di sampingnya. Di tengah-tengah dzikir itu, ia seringkali menatapkan pandangannya ke langit. Dan ini kebiasaannya hingga matahari naik dan waktu larangan shalat habis. Aku selama tinggal di Damaskus selalu bersamanya siang dan malam. Ia sering mendekatkanku padanya sehingga aku duduk di sebelahnya. Pada saat itu aku selalu mendengar apa yang dibacanya dan dijadikannya sebagai dzikir. Aku melihatnya membaca al-Fatihah, mengulang-ulanginya dan menghabiskan seluruh waktu dengan membacanya, yakni mengulang-ulang al-Fatihah sejak selesai shalat Shubuh hingga matahari naik. Dalam hal itu aku merenung: “Mengapa ia hanya rutin membaca al-Fatihah, tidak yang lainnya?” Akhirnya aku tahu –wallahu a’lam–, bahwa ia bermaksud menggabungkan antara keterangan dalam hadits-hadits dan apa yang disebutkan para ulama; yaitu apakah pada saat itu disunnahkan mendahulukan dzikir-dzikir yang datang dari Nabi Saw. daripada membaca al-Quran, atau sebaliknya? Beliau berpendapat, bahwa dalam membaca dan mengulang-ulang al-Fatihah ini berarti menggabungkan antara kedua pendapat dan meraih dua keutamaan. Ini termasuk bukti kekuatan kecerdasannya dan pandangan hatinya yang jitu.” (Syaikh Umar bin Ali al-Bazzar, murid Syaikh Ibnu Taimiyah, dalam al-A’lam al-‘Aliyyah fi Manaqib Ibn Taimiyah halaman 37-39).

Kesimpulan dari riwayat ini, sehabis shalat Shubuh Ibn Taimiyah berdzikir secara berjamaah, dan berdoa secara berjamaah pula seperti layaknya warga Nahdliyyin. Pandangannya selalu diarahkan ke langit (yang ini tidak dilakukan oleh warga Nahdliyyin). Sehabis itu, ia membaca surat al-Fatihah hingga matahari naik ke atas. Rutinitas Syaikh Ibnu Taimiyah tersebut memberikan kesimpulan, bahwa dzikir tetap dianjurkan meskipun orang kafir sedang menyembah matahari, atau orang Hindu sedang melakukan ritual keagamaan. Dzikir Tahlilan tetap berjalan kapan saja, termasuk 7 hari, hari ke 40, 100, 1000 dan lain-lain. Wallahu a’lam.



http://pustakamuhibbin.blogspot.co.id/2014/10/dialog-dengan-wahabi-tentang-dzikir.html

Doa Agar Dunia Mengejarmu Tanpa Kau Mengejarnya, Prof. Dr. Sayyid Muhammad bin Alwi Al Maliki

Diriwayatkan bahwa seorang Sahabat mengeluh kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan berkata:

"Ya Rasulallah, kenapa dunia seolah-olah tidak menginginkanku, semua usahaku bangkrut, peternakan dan pertaniankupun selalu gagal panen.? Sambil tersenyum Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam mengajarkan tentang tasbihnya para Malaikat serta tasbihnya penghuni alam semesta yaitu kalimat:


                                       سبحان الله وبحمده سبحان الله العظيم واستغفر الله
SUBHANALLAH WA BIHAMDIHI SUBHANALLAHIL 'AZHIM WASTAGHFIRULLAHLalu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Bacalah 100 kali sebelum terbit Fajar.Maka dunia akan memohon kepada Allah agar engkau miliki (mengejarmu tanpa kau mengejarnya) "Selang beberapa bulan kemudian, sahabat tadi kembali lagi dan bercerita:"Ya Rasulallah sekarang aku bingung dengan hartaku kemana harus aku letakkan hasil usaha dan peternakanku karena banyaknya."

(Diriwayatkan oleh Al Khatib Al Baghdadi dari Imam Malik Rahimahullah. 
Dikutip dari Kitab  أبواب الفرج oleh Prof. Dr. Sayyid Muhammad bin Alwi Al Maliki)


Nasehat Guru besar dari Rembang Jawa Tengah oleh K.H. Maimuun zubair seputar tidur

"Ono ulama' sing dawuh, Sholat subuh kawanen iku luwih apik ketimbang sholat subuh ora kawanen nanging bar subuh mapan turu." (Ada sebagian Ulama' berkata, Sholat subuh kesiangan(Shalat subuh di akhir waktu) itu lebih baik daripada sholat subuh tepat waktu tapi setelah subuh tidur).
Dengan dawuh ini tentunya Mbah Moen bukan berarti 'melegalkan' sholat subuh kesiangan akan tetapi yang perlu digaris bawahi adalah bahwa betapa jeleknya tidur setelah subuh, selain bisa merusak kesehatan ternyata banyak juga efek negatif yang ditimbulkan dari tidur setelah subuh baik secara jasmani, rohani, maupun psikis.
Dalam kitab Tadzkiroh karya Imam Jalaluddin Assuyuti dijelaskan bahwa;
1. Tidur di permulaan siang (pagi hari) disebut ﻋﻴﻠﻮﻟﺔ yaitu (menyebabkan) kefakiran.

2. Tidur di waktu dluha disebut ﻓﻴﻠﻮﻟﺔ, (menyebabkan) kelemahan/lesu pada badan.

3. Tidur ketika tergelincir matahari (zawal) disebut ﻗﻴﻠﻮﻟﺔ, dapat menambah (kecerdasan) akal.
4. Tidur setelah zawal disebut ﺧﻴﻠﻮﻟﺔ ,dapat menghalangi antara orang itu dan sholat.
5.  Dan tidur di akhir siang (sore hari) disebut ﻏﻴﻠﻮﻟﺔ, dapat menyebabkan binasa.
والله سبحانه وتعالى اعلم.....,

Penjelasan sholat tahiyatul masjid disaat khutbah berlangsung

Dalam hal ini ada 2 pendapat 









1. Boleh melaksanak sholat tahyatal masjid namun denga ringan.
2. Langsung duduk saja mendengarkan khotbah.

PERTANYAAN
Abdullah Alif'alit Al-Jawi
assalamualaikum.

Mau tnya dunk: bab sholat jum'at,
klu adzan sdh berkumandang, dan khotbah sdh dimulai dan kita baru dtg, apakah baiknya sholat sunah ato duduk sja mndengarkan khotbah?

sya prnah di bilangin du2k sja dngerin khotbah krn sholat itu sunah dan diam pd saat khotbah itu wajib...
monggo pncerahannya...

JAWABAN

Pendapat pertama (1)
Madzhab syafi'i menganjurkan tetap shalat tahiyatul mesjid dulu tetapi dengan ringkas saja.

ﻭﻟﻮ ﺩﺧﻞ ﻓﻲ ﺃﺛﻨﺎﺀ ﺍﻟﺨﻄﺒﺔ ، ﺍﺳﺘﺤﺐ ﻟﻪ ﺃﻥ ﻳﺼﻠﻲ ﺍﻟﺘﺤﻴﺔ ﻭ ﻳﺨﻔﻔﻬﺎ . ﻓﻠﻮ ﻛﺎﻥ ﻣﺎ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﺴﻨﺔ ، ﺻﻼﻫﺎ ﻭﺣﺼﻠﺖ ﺍﻟﺘﺤﻴﺔ . ﻭﻟﻮ ﺩﺧﻞ ﻭﺍﻹﻣﺎﻡ ﻓﻲ ﺁﺧﺮ ﺍﻟﺨﻄﺒﺔ ، ﻟﻢ ﻳﺼﻞ ، ﻟﺌﻼ ﻳﻔﻮﺗﻪ ﺃﻭﻝ ﺍﻟﺠﻤﻌﺔ ﻣﻊ ﺍﻹﻣﺎﻡ
Bila seseorang masuk masjid disaat berlangsung khotbah disunahkan baginya shalat TAHIYYAH ALMASJID dan ringkaskanlah, bila ia mengerjakan shalat sunnah maka kerjakan dan hasil pulalah pahala shalat tahiyyah, bila ia masuk masjid dan khotib berada dipenghujung khutbah, maka jangan melakukan shalat agar tidak hilang kesempatan baginya mengerjakan awal shalat jumat bersama imam.
(Roudlotut tholibin Juz 2 : Halaman 30)


Pendapat ke Dua (2)
langsung duduk saja 

jk khotib tlah duduk di mimbar maka memulai sholat tahiyatul masjid saat itu hukumnya makruh tahrim, bahkan pendapat yg aujah sholatnya tdk sah.ketika sdg melakukan sholat tahiyatul masjid misalnya, kemudian khotib duduk di mimbar maka wajib meringankan sholatnya dengan melakukan yg wajib2 saja.

- kitab fathul mu'in

وتُكرَهُ تحريماً ولو لمن لم تلزمْهُ الجمعة بعد جلوسِ الخطيبِ على المنبرِ: وإنْ لم يَسمَعِ الخطبة صلاةُ فرضٍ، ولو فائتَةٍ تَذَكَّرها الآن، وإن لزِمَتْه فوراً، أو نَفْلٍ، ولو في حال الدّعاء للسلطان. والأوْجَه أنها لا تنعقِدُ كالصّلاة بالوقتِ المكروهِ، بل أَوْلى. ويَجِبُ على من بِصلاةٍ تخفيفُها، بأن يقتصِر على أقلّ مجزِىءٍ عند جلوسِهِ على المِنبَرِ.
- Kitab Iaanah

(قوله: أو نفل) بالجر، معطوف على فرض.(قوله: ولو في حال الدعاء) غاية في الكراهة أيضا.(والحاصل) أنها تستمر إلى فراغ الخطبة وتوابعها.(قوله: والاوجه أنها لا تنعقد) عبارة المغنى: وإذا حرمت لم تنعقد - كما قاله البلقيني - لان الوقت ليس لها، وكالصلاة في الاوقات الخمسة المكروهة، بل أولى، للاجماع على تحريمها هنا، كما مر بخلافها ثم.اه.والفرق حينئذ بينها وبين الصلاة في المكان المغصوب - حيث انعقدت مع أنها تحرم -: أن النهي هنا لذات الصلاة، وهناك لامر خارج، وهو شغل ملك الغير من غير إذنه.(قوله: كالصلاة بالوقت المكروه) أي فإنها لا تنعقد فيه.(وقوله: بل أولى) أي بل عدم انعقادها بعد جلوس الخطيب على المنبر أولى من عدم انعقادها فيه، وذلك لاعراضه عما هو مأمور به، وهو الانصات للخطيب.(قوله: يقتصر الخ) تصوير للتخفيف. (وقوله: على أقل مجزئ) هو الاتيان بالواجبات فقط، كما سيصرح به قريبا. المراد بالتخفيف ترك التطويل عرفا، وعبارتها: والمراد بالتخفيف فيما ذكر، الاقتصار على الواجبات

Dari uraian di atas penulis lebih condong pada pendapat yang pertama, yakni sholat tahiyah dengan ringan ( Atau gerakanya agak cepat) kemudian baru mendengarkan khutbah. demikian wallahu a'lam.