Dialog Sesi
1
WAHABI:
“Anda harus meninggalkan Tahlilan 7 hari, hari ke 40, 100 dan ke 1000. Kalau
tidak, Anda akan masuk neraka!”
SUNNI: “Apa
alasan Anda mewajibkan kami meninggalkan Tahlilan 7 hari, hari ke 40, 100 dan
1000?”
WAHABI:
“Karena itu tasyabbuh dengan orang-orang Hindu. Mereka orang kafir. Tasyabbuh
dengan kafir berarti kafir pula!”
SUNNI: “Owh,
itu karena Anda baru belajar ilmu agama. Coba Anda belajar di pesantren
Ahlussunnah wal Jama’ah, Anda tidak akan bertindak sekasar ini. Anda pasti malu
dengan tindakan Anda yang kasar dan sangat tidak Islami. Ingat, Islam itu
mengedepankan akhlaqul karimah, budi pekerti yang mulia. Bukan sikap kasar
seperti Anda.”
WAHABI:
“Kalau begitu, menurut Anda acara Tahlilan dalam hari-hari tersebut bagaimana?”
SUNNI: “Justru
acara dzikir Tahlilan pada hari-hari tersebut hukumnya sunnah, agar kita
berbeda dengan Hindu.”
WAHABI:
“Mana dalilnya? Bukankah pada hari-hari tersebut orang-orang Hindu melakukan
kesyirikan!?”
SUNNI:
“Justru karena pada hari-hari tersebut, orang Hindu melakukan kesyirikan dan
kemaksiatan, kita lawan mereka dengan melakukan kebajikan, dzikir bersama
kepada Allah Swt. dengan Tahlilan. Dalam kitab-kitab hadits diterangkan:
عَنِ ابْنِ
مَسْعُوْدٍ رضي الله عنه قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم:ذَاكِرُ
اللهِ فِي الْغَافِلِيْنَ بِمَنْزِلَةِ الصَّابِرِ فِي الْفَارِّيْنَ.
Dari Ibnu Mas’ud Ra. bahwa Rasulullah Saw. bersabda: “Orang
yang berdzikir kepada Allah di antara kaum yang lalai kepada Allah, sederajat
dengan orang yang sabar di antara kaum yang melarikan diri dari medan
peperangan.” (HR. ath-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir no. 9797
dan al-Mu’jam al-Ausath no. 271. Al-Hafidz as-Suyuthi menilai hadits
tersebut shahih dalam al-Jami’ ash-Shaghir no. 4310).
Dalam acara
tahlilan selama 7 hari kematian, kaum Muslimin berdzikir kepada Allah, ketika
pada hari-hari tersebut orang Hindu melakukan sekian banyak kemungkaran. Betapa
indah dan mulianya tradisi Tahlilan itu.
WAHABI:
“Saya tidak menerima alasan dan dalil Anda. Bagaimanapun dengan Tahlilan pada 7
hari kematian, hari ke 40, 100 dan 1000, kalian berarti menyerupai atau
tasyabbuh dengan Hindu, dan itu tidak boleh!”
SUNNI: “Itu
karena Anda tidak mengerti maksud tasyabbuh. Tasyabbuh itu bisa terjadi,
apabila perbuatan yang dilakukan oleh kaum Muslimin pada hari-hari tersebut
persis dengan apa yang dilakukan oleh orang Hindu. Kaum Muslimin Tahlilan.
Orang Hindu jelas tidak Tahlilan. Ini kan beda.”
WAHABI:
“Tapi penentuan waktunya kan sama!?”
SUNNI: “Ya
ini, karena Anda baru belajar ilmu agama. Kesimpulan hukum seperti Anda, yang
mudah mengkafirkan orang karena kesamaan soal waktu, bisa berakibat
mengkafirkan Rasulullah Saw.”
WAHABI: “Kok
bisa berakibat mengkafirkan Rasulullah!?”
SUNNI: “Anda
harus tahu, bahwa kesamaan waktu itu tidak menjadi masalah, selama perbuatannya
beda. Coba Anda perhatikan hadits ini:
عَنْ أُمِّ
سَلَمَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ
يَوْمَ السَّبْتِ وَيَوْمَ اْلأَحَدِ أَكْثَرَ مِمَّا يَصُومُ مِنْ اْلأَيَّامِ
وَيَقُولُ إِنَّهُمَا عِيدَا الْمُشْرِكِينَ فَأَنَا أُحِبُّ أَنْ أُخَالِفَهُمْ.
Ummu Salamah Ra. berkata: “Rasulullah Saw. selalu
berpuasa pada hari Sabtu dan Ahad, melebihi puasa pada hari-hari yang lain.
Beliau Saw. bersabda: “Dua hari itu adalah hari raya orang-orang Musyrik,
aku senang menyelisihi mereka.” (HR. Ahmad no. 26750, an-Nasa’i juz 2
halaman 146, dan dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban).
Dalam hadits
di atas jelas sekali, karena pada hari Sabtu dan Ahad, kaum Musyrik
menjadikannya hari raya. Maka Rasulullah Saw. menyelisihi mereka dengan
berpuasa. Sama dengan kaum Muslimin Indonesia. Karena orang Hindu mengisi
hari-hari yang Anda sebutkan dengan kesyirikan dan kemaksiatan, yang merupakan
penghinaan kepada si mati, maka kaum Muslimin mengisinya dengan dzikir Tahlilan
sebagai penghormatan kepada si mati.
WAHABI:
“Owh, iya ya.”
SUNNI: “Saya
ingin tanya, Anda tahu dari mana bahwa hari-hari tersebut, asalnya dari Hindu?”
WAHABI: “Ya,
baca kitab Weda, kitab sucinya Hindu.”
SUNNI: “Alhamdulillah,
kami kaum Sunni tidak pernah baca kitab Weda.”
WAHABI:
“Awal mulanya sih, ada muallaf asal Hindu, yang menjelaskan masalah di atas.
Sering kami undang ceramah pengajian kami. Akhirnya kami lihat Weda.”
SUNNI: “Itu
kesalahan Anda, orang Wahabi, yang lebih senang belajar agama kepada muallaf
dan gengsi belajar agama kepada para kyai pesantren yang berilmu. Jelas, ini
termasuk bid’ah tercela.”
WAHABI:
“Terima kasih ilmunya.”
SUNNI: “Anda
dan golongan Anda tidak melakukan Tahlilan, silakan. Bagi kami tidak ada
persoalan. Tapi jangan coba-coba menyalahkan kami yang mengadakan dzikir
Tahlilan.”
Dialog Sesi
2
Beberapa waktu yang lalu, setelah kami menulis status
tentang dalil-dalil bolehnya dzikir Tahlilan 7 hari, hari ke 40, 100 dan 1000,
dan bahwa hal tersebut tidak termasuk tasyabbuh yang dilarang, ada sebagian
Wahabi yang menulis bantahan dan mengutip dari kitab al-Istinfar karya
Syaikh Ahmad al-Ghumari dan al-Bidayah wa an-Nihayah karya al-Hafidz
Ibnu Katsir asy-Syafi’i. Akan tetapi setelah kami lihat, ternyata argument
bantahan tersebut sama sekali tidak mengena terhadap persoalan yang dibahas.
Oleh karena itu, di sini kami tulis jawaban secara ilmiah.
WAHABI:
“Kita tidak boleh shalat ketika matahari tepat terbit dan matahari tepat
terbenam. Karena matahari terbit dan terbenam antara dua tanduk setan, dan
orang kafir sujud pada saat itu. Maka kita dilarang tasyabbuh kepadanya!
صَلِّ
صَلَاةَ الصُّبْحِ، ثُمَّ أَقْصِرْ عَنِ الصَّلَاةِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ
حَتَّى تَرْتَفِعَ، فَإِنَّهَا تَطْلُعُ حِينَ تَطْلُعُ بَيْنَ قَرْنَيْ
شَيْطَانٍ، وَحِينَئِذٍ يَسْجُدُ لَهَا الْكُفَّارُ
“Lakukan shalat Shubuh kemudian berhentilah
shalat sampai terbitnya matahari hingga dia agak naik meninggi, karena matahari
itu terbit antara dua tanduk setan dan saat itulah orang-orang kafir sujud.” Kemudian beliau Saw. juga bersabda
di hadits yang sama:
ثُمَّ
أَقْصِرْ عَنِ الصَّلَاةِ حَتَّى تَغْرُبَ الشَّمْسُ، فَإِنَّهَا تَغْرُبُ بَيْنَ قَرْنَيْ
شَيْطَانٍ، وَحِينَئِذٍ يَسْجُدُ لَهَا الْكُفَّارُ
“Kemudian hentikan shalat sampai terbenam
matahari karena dia terbenam antara dua tanduk setan dan saat itulah
orang-orang kafir bersujud.”
SUNNI:
“Shalat memang beda dengan dzikir dan Tahlilan. Ketika matahari tepat terbit
dan matahari tepat terbenam, shalat sunnah tidak boleh dilakukan. Tetapi untuk
dzikir dan Tahlilan justru dianjurkan. Dalam kitab-kitab dijelaskan:
عن أنس بن
مالك رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: من صلى الفجر فى جماعة
ثم قعد يذكر الله حتى تطلع الشمس ثم يصلى ركعتين كانت له كأجر حجة وعمرة تامة تامة
تامة.
Anas bin Malik Ra. berkata bahwa Rasulullah Saw.
bersabda: “Barangsiapa yang menunaikan shalat Fajar (Shubuh), kemudian duduk
berdzikir kepada Allah hingga matahari terbit, kemudian shalat 2 rakaat, maka
ia memperoleh pahala seperti pahala haji dan umrah sempurna sempurna sempurna.”
(HR. at-Tirmidzi no. 586, dan berkata ini hadits hasan gharib).
عَنْ سَهْلِ
بْنِ مُعَاذِ بْنِ أَنَسٍ الْجُهَنِىِّ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللهِ -صلى
الله عليه وسلم- قَالَ « مَنْ قَعَدَ فِى مُصَلاَّهُ حِينَ يَنْصَرِفُ مِنْ
صَلاَةِ الصُّبْحِ حَتَّى يُسَبِّحَ رَكْعَتَىِ الضُّحَى لاَ يَقُولُ إِلاَّ
خَيْرًا غُفِرَ لَهُ خَطَايَاهُ وَإِنْ كَانَتْ أَكْثَرَ مِنْ زَبَدِ الْبَحْرِ ».
Dari Sahal bin Mu’adz bin Anas al-Juhani, dari
ayahnya, bahwa Rasulullah Saw. bersabda: “Barangsiapa yang duduk di tempat
shalatnya ketika selesai shalat Shubuh sampai menunaikan 2 rakaat shalat Dhuha,
ia tidak berkata kecuali kebaikan, maka dosa-dosanya diampuni meskipun lebih
banyak daripada buih di lautan.” (HR. Abu Dawud no. 1287, ath-Thabarani no.
442, al-Baihaqi no. 4686 dan Ahmad no. 15661).
عَنْ أَبِي
أُمَامَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لأَنْ
أَقْعُدَ أَذْكُرُ اللهَ وَأُكَبِّرُهُ وَأَحْمَدُهُ وَأُسَبِّحُهُ وَأُهَلِّلُهُ
حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَعْتِقَ رَقَبَتَيْنِ أَوْ
أَكْثَرَ مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيلَ وَمِنْ بَعْدِ الْعَصْرِ حَتَّى تَغْرُبَ
الشَّمْسُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَعْتِقَ أَرْبَعَ رِقَابٍ مِنْ وَلَدِ
إِسْمَاعِيلَ
Dari Abu Umamah, bahwa Rasulullah Saw. bersabda: “Seandainya
aku duduk berdzikir kepada Allah, mengagungkanNya, memujiNya, bertasbih dan
bertahlil kepadaNya hingga matahari terbit, lebih aku cintai daripada aku memerdekatan
2 budak atau lebih dari keturunan Ismail. Dan dari setelah shalat Ashar hingga
matahari terbenam, lebih aku senangi daripada aku memerdekakan 4 orang budak
dari keturunan Ismail.” (HR. Ahmad no. 22194, dan sanadnya hasan).
Dalam
hadits-hadits di atas, dan hadits-hadits lain yang tidak kami sebutkan di sini
sangat jelas bahwa waktu dzikir, termasuk Tahlilan dan Yasinan, lebih luwes dan
lebih longgar daripada waktu shalat. Meskipun orang-orang kafir sedang
menyembah matahari atau orang Hindu sedang melakukan ritual keagamaan, dzikir
seperti Tahlilan tetap dianjurkan. Oleh karena itu, perkatan Syaikh Ahmad
al-Ghumari dalam kitabnya al-Istinfar li Ghazw at- Tasyabbuh bi al-Kuffar
halaman 33:
قال العلماء
: نهى صلى الله عليه وسلم عن الصلاة في هذين الوقتين الذين يسجد فيهما الكفار
للشمس وإن كان المؤمن لا يسجد إلا لله تعالى حسما لمادة المشابهة وسدا للذريعة.
وفيه تنبيه على أن كل ما يفعله المشركون ينهى المؤمن عن ظاهره وإن لم يقصد التشبه
فرارا من الموافقة في الصورة والظاهر.
“Para ulama mengatakan, Rasulullah Saw.
melarang shalat di kedua waktu yang bersujud padanya orang-orang kafir kepada
matahari, meskipun orang mukmin tidak sujud kecuali kepada Allah Ta’ala.
Tujuannya adalah untuk memutus materi musyabahah (penyerupaan) dan menutup
jalan. Di dalamnya juga ada peringatan bahwa setiap yang dilakukan kaum
musyrikin maka kaum mukmin dilarang melakukannnya dari sisi dzahir yang sama
meski dia tidak bermaksud menyerupai (orang musyrik itu) demi menghindarkan
diri dari ketersesuaian dalam bentuk dan dalam dzahir (fenomena).”
Perkataan tersebut tidak dapat diartikan secara
mutlak, mencakup terhadap semua bentuk ibadah seperti dzikir. Karena dzikir
memang berbeda dengan shalat. Dalam hadits lain tentang dzikir, Rasulullah Saw.
bersabda:
عَنْ مُعَاذِ
بْنِ جَبَلٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "
لَيْسَ يَتَحَسَّرُ أَهْلُ الْجَنَّةِ إِلا عَلَى سَاعَةٍ مَرَّتْ بِهِمْ لَمْ
يَذْكُرُوا اللهَ فِيهَا.
Mu’adz bin Jabal berkata bahwa Rasulullah Saw.
bersabda: “Tidak pernah menyesal penduduk surga kecuali karena satu waktu
yang mereka lalui, sedangkan mereka tidak mengisinya dengan dzikir kepada
Allah.” (HR. al-Hakim, at-Tirmidzi juz 4 halaman 106, ath-Thabarani no.
182, al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman no. 513 dan ad-Dailami no. 5244.
Al-Hafidz ad-Dimyathi berkata: “Sanad hadits ini jayyid.” Lihat dalam al-Matjar
ar-Rabih halaman 205).
Hadits ini memberikan pesan, bahwa dzikir dianjurkan
setiap saat, tanpa dibatasi dengan waktu. Oleh karena itu perkataan Syaikh
al-Ghumari dalam al-Istinfar, demikian pula perkataan al-Hafidz Ibnu
Katsir dalam al-Bidayah wa an-Nihayah, keduanya sepertinya mengutip dari
Ibnu Taimiyah dalam Iqtidha’ ash-Shirath al-Mustaqim, tidak dapat
diartikan secara mutlak. Bahkan Syaikh Ibnu Taimiyah sendiri, mengamalkan
dzikir sejak selesai shalat Shubuh sampai matahari naik ke atas. Syaikh Umar
bin Ali al-Bazzar, murid Syaikh Ibnu Taimiyah berkata:
فَإِذَا
فَرَغَ مِنَ الصَّلاةِ أَثْنَى عَلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ هُوَ وَمَنْ حَضَرَ
بِمَا وَرَدَ مِنْ قَوْلِهِ الَلَّهُمَّ اَنْتَ السَّلامُ وَمِنْكَ السَّلامُ
تَبَارَكْتَ يَا ذَا الْجَلاَلِ وَاْلإِكْرَامِ ثُمَّ يُقْبِلُ عَلَى الْجَمَاعَةِ
ثُمَّ يَأْتِيْ بِالتَّهْلِيْلاَتِ الْوَارِدَاتِ حِيْنَئِذٍ ثُمَّ يُسَبِّحُ
اللهَ وَيَحْمَدُهُ وَيُكَبِّرُهُ ثَلاثًا وَثَلاثِيْنَ وَيَخْتِمُ الْمِائَةَ
بِالتَّهْلِيْلِ كَمَا وَرَدَ وَكَذَا الْجَمَاعَةُ ثُمَّ يَدْعُو اللهَ تَعَالى
لَهُ وَلَهُمْ وَلِلْمُسْلِمِيْنَ. وَكَانَ قَدْ عُرِفَتْ عَادَتُهُ؛ لاَ
يُكَلِّمُهُ أَحَدٌ بِغَيْرِ ضَرُوْرَةٍ بَعْدَ صَلاةِ الْفَجْرِ فَلاَ يَزَالُ فِي
الذِّكْرِ يُسْمِعُ نَفْسَهُ وَرُبَّمَا يُسْمِعُ ذِكْرَهُ مَنْ إِلَى جَانِبِهِ،
مَعَ كَوْنِهِ فِيْ خِلاَلِ ذَلِكَ يُكْثِرُ فِي تَقْلِيْبِ بَصَرِهِ نَحْوَ
السَّمَاءِ. هَكَذَاَ دَأْبُهُ حَتَّى تَرْتَفِعَ الشَمْسُ وَيزُوْلَ وَقْتُ
النَّهْيِ عَنِ الصَّلاةِ. وَكُنْتُ مُدَّةَ إِقَامَتِيْ بِدِمَشْقَ مُلاَزِمَهُ
جُلَّ النَّهَارِ وَكَثِيْراً مِنَ اللَّيْلِ. وَكَانَ يُدْنِيْنِيْ مِنْهُ حتَّى يُجْلِسَنِيْ إِلَى جَانِبِهِ، وَكُنْتُ أَسْمَعُ
مَا يَتْلُوْ وَمَا يَذْكُرُ حِيْنَئِذٍ، فَرَأَيْتُهُ يَقْرَأُ الْفَاتِحَةَ وَيُكَرِّرُهَا
وَيَقْطَعُ ذَلِكَ الْوَقْتَ كُلَّهُ ـ أَعْنِيْ مِنَ الْفَجْرِ إِلَى ارْتِفَاعِ
الشَّمْسِ ـ فِيْ تَكْرِيْرِ تِلاَوَتِهَا. فَفَكَّرْتُ فِيْ ذَلِكَ؛ لِمَ قَدْ
لَزِمَ هَذِهِ السُّوْرَةَ دُوْنَ غَيْرِهَا؟ فَبَانَ لِيْ ـ وَاللهُ أَعْلَمُ ـ
أَنَّ قَصْدَهُ بِذَلِكَ أَنْ يَجْمَعَ بِتِلاَوَتِهَا حِيْنَئِذٍ مَا وَرَدَ فِي
اْلأَحَادِيْثِ، وَمَا ذَكَرَهُ الْعُلَمَاءُ: هَلْ يُسْتَحَبُّ حِيْنَئِذٍ
تَقْدِيْمُ اْلأَذْكَارِ الْوَارِدَةِ عَلَى تِلاَوَةِ الْقُرْآنِ أَوِ الْعَكْسُ؟
فرَأَى أَنَّ فِي الْفَاتِحَةِ وَتِكْرَارِهَا حِيْنَئِذٍ جَمْعاً بَيْنَ
الْقَوْلَيْنِ وَتَحْصِيْلاً لِلْفَضِيْلَتَيْنِ، وَهَذَا مِنْ قُوَّةِ فِطْنَتِهِ
وَثَاقِبِ بَصِيْرَتٍهٍ، اهـ .
“Apabila Ibn Taimiyah selesai shalat
Shubuh, maka ia berdzikir kepada Allah bersama jamaah dengan doa yang datang
dari Nabi Saw.: “Allahumma antassalam...” Lalu ia menghadap kepada
jamaah, lalu membaca tahlil-tahlil yang datang dari Nabi Saw., lalu tasbih,
tahmid dan takbir, masing-masing 33 kali. Dan diakhiri dengan tahlil sebagai
bacaan yang keseratus. Ia membacanya bersama jamaah yang hadir. Kemudian ia
berdoa kepada Allah Swt. untuk dirinya dan jamaah serta kaum Muslimin.
Kebiasaan Ibn Taimiyah telah maklum, ia sulit diajak bicara setelah shalat
Shubuh kecuali terpaksa. Ia akan terus berdzikir pelan, cukup didengarnya
sendiri dan terkadang dapat didengar oleh orang di sampingnya. Di tengah-tengah
dzikir itu, ia seringkali menatapkan pandangannya ke langit. Dan ini
kebiasaannya hingga matahari naik dan waktu larangan shalat habis. Aku selama
tinggal di Damaskus selalu bersamanya siang dan malam. Ia sering mendekatkanku
padanya sehingga aku duduk di sebelahnya. Pada saat itu aku selalu mendengar
apa yang dibacanya dan dijadikannya sebagai dzikir. Aku melihatnya membaca
al-Fatihah, mengulang-ulanginya dan menghabiskan seluruh waktu dengan
membacanya, yakni mengulang-ulang al-Fatihah sejak selesai shalat Shubuh hingga
matahari naik. Dalam hal itu aku merenung: “Mengapa ia hanya rutin membaca
al-Fatihah, tidak yang lainnya?” Akhirnya aku tahu –wallahu a’lam–, bahwa
ia bermaksud menggabungkan antara keterangan dalam hadits-hadits dan apa yang
disebutkan para ulama; yaitu apakah pada saat itu disunnahkan mendahulukan
dzikir-dzikir yang datang dari Nabi Saw. daripada membaca al-Quran, atau
sebaliknya? Beliau berpendapat, bahwa dalam membaca dan mengulang-ulang
al-Fatihah ini berarti menggabungkan antara kedua pendapat dan meraih dua
keutamaan. Ini termasuk bukti kekuatan kecerdasannya dan pandangan hatinya yang
jitu.” (Syaikh Umar bin Ali al-Bazzar, murid Syaikh Ibnu Taimiyah, dalam al-A’lam
al-‘Aliyyah fi Manaqib Ibn Taimiyah halaman 37-39).
Kesimpulan
dari riwayat ini, sehabis shalat Shubuh Ibn Taimiyah berdzikir secara
berjamaah, dan berdoa secara berjamaah pula seperti layaknya warga Nahdliyyin. Pandangannya
selalu diarahkan ke langit (yang ini tidak dilakukan oleh warga Nahdliyyin).
Sehabis itu, ia membaca surat al-Fatihah hingga matahari naik ke atas.
Rutinitas Syaikh Ibnu Taimiyah tersebut memberikan kesimpulan, bahwa dzikir
tetap dianjurkan meskipun orang kafir sedang menyembah matahari, atau orang
Hindu sedang melakukan ritual keagamaan. Dzikir Tahlilan tetap berjalan kapan
saja, termasuk 7 hari, hari ke 40, 100, 1000 dan lain-lain. Wallahu a’lam.
http://pustakamuhibbin.blogspot.co.id/2014/10/dialog-dengan-wahabi-tentang-dzikir.html